El Nino Melemah

El Nino Melemah

El Nino Melemah, tetapi Dampaknya Menguat

El Nino Melemah Februari hingga awal Maret biasanya ditandai dengan hujan lebat di Desa Waibau, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Namun, tahun ini hanya terjadi hujan yang sesekali turun dalam durasi singkat sehingga padi ladang dan jagung yang baru di tanam pada awal Januari 2024 mulai layu.

”Biasanya hari-hari seperti ini banyak hujan angin. Namun, saat ini sangat kering, seperti sudah masuk kemarau. Sudah lebih dari seminggu ini belum hujan sama sekali,” kata Matias Raja Koten (62), Kepala Suku Koten Keka dari Desa Waibau, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, yang di temui Rabu (6/3/2024).

Kondisi udara di Desa Waibau dalam beberapa hari terakhir terasa sangat panas dan gerah. Langit sedemikian cerah, nyaris tanpa awan. Tanaman padi ladang dan jagung milik Matias yang baru berumur satu hingga dua bulan pun mulai layu.

”Kalau minggu-minggu ini masih tidak ada hujan, ada kemungkinan tanaman kami akan mati. Kalaupun bertahan, pasti hasil panen akan anjlok. Apalagi, saat ini juga banyak hama ulat yang menyerang jagung,” katanya.

Kepala Dusun III, Desa Waibau, Harto Brino (28) mengatakan, musim hujan 2023/2014 datang terlambat. Biasanya bulan November para petani sudah tanam padi dan paling terlambat bulan Desember. Namun, hujan kali ini baru mulai turun bulan Januari. ”Saat padi baru mulai tumbuh, sekarang sudah kering lagi sehingga banyak tanaman mati,” katanya.

Menurut Harto, pada bulan Februari hingga Maret biasanya menjadi puncak musim hujan di wilayahnya. ”Namun, sekarang El Nino Melemah air minum saja kami susah. Selain beli beras yang mahal, kami sekarang harus beli air,” tuturnya.

Menurut Matias dan Harto, kondisi cuaca tahun ini seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998 dan 2016, setahun setelah munculnya El Nino. Data menunjukkan, tahun 1997 terjadi El Nino kuat, demikian juga pada 2015.

Perkembangan El Nino

Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), yang dirilis pada Selasa (5/3/2024), menyatakan, ada sekitar 60 persen kemungkinan El Nino akan bertahan selama bulan Maret-Mei dan 80 persen kemungkinan kondisi netral pada April hingga Juni. Ada kemungkinan La Nina akan terjadi pada akhir tahun ini, tetapi kemungkinan tersebut belum pasti.

El Nino terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun dan biasanya berlangsung selama 9-12 bulan. Hal ini merupakan pola iklim alami yang terkait pemanasan permukaan laut di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Hal ini memengaruhi pola cuaca dan badai di berbagai belahan dunia. Namun, hal ini terjadi dalam konteks perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

”Setiap bulan sejak Juni 2023 telah mencatat rekor suhu bulanan baru dan tahun 2023 sejauh ini merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. El Nino berkontribusi pada rekor suhu ini, tetapi gas rumah kaca yang memerangkap panas jelas merupakan penyebab utamanya,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo.

Menurut Saulo, suhu permukaan laut di Pasifik tropis saat ini mencerminkan situasi El Nino. Namun, suhu permukaan laut di belahan dunia lain terus-menerus dan luar biasa tinggi selama 10 bulan terakhir. ”Suhu permukaan laut pada Januari 2024 merupakan rekor tertinggi pada bulan Januari. Hal ini mengkhawatirkan dan tidak dapat dijelaskan hanya oleh El Nino,” kata Saulo.

El Nino yang terus berlanjut, meskipun lebih lemah, dan perkiraan suhu permukaan laut di atas normal di sebagian besar lautan global di perkirakan akan menyebabkan suhu di atas normal di hampir seluruh wilayah daratan dalam tiga bulan ke depan. Kondisi ini di perkirakan bakal memengaruhi pola curah hujan regional.

Saulo mengingatkan, El Nino biasanya memberikan dampak terbesar terhadap iklim global pada tahun kedua perkembangannya, yaitu pada 2024.

Dampak terkuat

Sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya, dampak El Nino di Indonesia terutama juga di rasakan setahun setelahnya.

Laporan ahli iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Siswanto, dan tim di jurnal Plos One pada 3 Juni 2023 menunjukkan keterkaitan fenomena iklim global, khususnya El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif, dengan kejadian kekeringan dan penurunan produksi padi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Mengacu laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), El Nino 1997/1998 yang kuat berdampak pada penurunan panen padi tahun 1998 di Indonesia sebesar 3,6 persen di bandingkan panen tahun 1997 dan 6 persen di bandingkan panen tahun 1996. Hal ini terjadi akibat kekeringan terparah dalam dekade tersebut.

Penurunan produksi padi juga terjadi pada 2016 akibat penurunan curah hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia sejak 2015. Curah hujan di daerah utama penanaman padi di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan tak menentu dan kurang, memaksa petani menunda penanaman jauh melampaui periode optimal pada musim hujan yang biasanya berlangsung Oktober hingga April.

Wilayah Indonesia timur, termasuk NTT, mengalami dampak El Nino paling parah. ”Daerah dengan hari tanpa hujan (hari kering) terpanjang rekornya di NTT. Wilayah ini paling lambat mengawali musim hujan, tetapi paling cepat mengakhiri musim hujannya karena paling dekat Benua Australia sehingga pertama terpapar sirkulasi monsun Australia, yang berasosiasi kemarau di Indonesia,” ujar Siswanto.

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas II NTT Rahmatulloh Adji memaparkan, sebagian besar zona musim di NTT mengalami musim hujan yang mundur. ”Sebagian NTT baru memasuki awal musim hujan pada dasarian pertama Desember, yakni sebanyak lima zona musim. Sebanyak 43 persen mundur dari prakiraan,” tuturnya.